Pudarnya Pesona Wanita Bermata Sendu
Cinta Pertama dan Hukum Keberlanjutan
Semua hal pertama dalam hidup seolah memiliki hukum keberlanjutan yang memengaruhi hal kedua, ketiga, dan seterusnya. Ini juga berlaku dalam cinta. Saya pernah membaca sebuah syair dari Mesir yang menggambarkan pusaran cinta yang membuat hati berbunga-bunga dan penuh keindahan. Namun, syair itu juga mengingatkan bahwa kita harus mempersiapkan diri untuk cinta berikutnya. Ketika logika masih terkontrol, saya mencoba menyadarkan diri bahwa jika perasaan yang membuat saya resah, gelisah, hingga "tergila-gila" ini adalah cinta pertama, maka cinta ini bisa saja berakhir dan berganti dengan cinta yang lain.
Namun, di dalam hati saya berbisik, mengharapkan bahwa cinta pertama ini adalah cinta yang sejati. Dialah yang kelak menjadi kekasih hati, menemani perjuangan hidup, meraih cita-cita bersama, dan menjalin kasih dalam bingkai ibadah.
Wanita Pendiam Bermata Sendu
Hal pertama yang membuat saya tersedot perhatian pada dirinya adalah keramahan dan kesopanannya. Hal kedua adalah sifatnya yang pendiam. Saya sering melihatnya di kelas mata kuliah Bahasa Inggris, mengulang mata kuliah yang sama. Saat itu, saya berada di semester tiga, sedangkan dia baru semester satu. Pertemuan pertama kami di luar kelas terjadi di Indonesian Book Fair, Senayan. Namun, pertemuan yang paling menentukan adalah ketika dia menyapa saya di dekat gerbang asrama putri universitas.
“Kak…,” sapanya lembut sambil berjalan sendiri, berlawanan arah dengan saya dan Tim SADAR MW yang hendak mempromosikan sebuah website di kampus dua. Sapaan itu terdengar begitu ramah, sopan, dan anggun. Teman-teman Tim SADAR MW spontan berkomentar, “Wah, lumayan juga tuh, Sal.” Saya hanya merespons dengan ringan, “Ah, biasa saja.” Awalnya, saya memang menganggap dia biasa saja, sama seperti yang lain. Namun, setelah promosi selesai dan saya melewati asrama putri menuju kantor SADAR MW, sapaan itu kembali teringat di benak saya. Ada sesuatu yang berbeda.
Keramahan dan kesopanannya ternyata telah meluluhkan hati saya. Itu adalah cinta pertama yang baru saja saya rasakan. Dari momen itu, saya mulai menyadari keawaman saya dalam masalah cinta.
Debaran Hati dan Rasa Takut Bertemu
Saya mulai merasa takut bertemu dengannya. Saya mencari jalan alternatif, baik di fakultas maupun di luar kampus, agar tidak berpapasan dengannya. Namun, hati saya juga berdebar hebat setiap kali melihatnya, hampir menyerupai debaran saat pertama kali menjadi pemimpin upacara ketika MTs (SMP), meski rasa ini terasa jauh lebih mendalam.
Perasaan itu bahkan membuat saya mengikuti kebiasaannya. Salah satu jalur yang sering ia lalui adalah lorong samping asrama putri. Tanpa sadar, saya selalu memilih jalan itu dengan harapan bisa melihatnya, meski hanya dari kejauhan. Kerinduannya begitu mendalam, hingga saya mulai mempertanyakan diri sendiri: apakah saya harus mengikuti sifatnya yang pendiam atau tetap meneguhkan karakter saya yang aktif dan banyak bicara?
Resah ini terus menggelayuti hati saya. Saya benar-benar mencintainya, menyukai hampir segala hal tentang dirinya. Wanita pendiam bermata sendu itu telah menciptakan sebuah debaran yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya.