Kitab Hadis Syi’ah : Studi Kitab Hadis Al-Kafi Karya Al-Kulaini - Makalah Lengkap
Makalah ini ditampilkan secara penuh pada halaman web www.FaisalHilmi.com ini. Lengkap dengan footnote & daftar pustaka. Anda bisa baca langsung atau download gratis makalah Kitab Hadis Syi’ah : Studi Kitab Hadis Al-Kafi Karya Al-Kulaini klik http://goo.gl/Zayld. Hargailah karya ini dengan mencantumkan sumbernya. Memaknai hidup dengan berbagi.
Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah Pembahasan Kitab Hadis
Oleh :
Faisal
Hilmi
NIM. 1110034000144
M.
Ghozali
NIM. 1110034000127
JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF
HIDAYATULLAH JAKARTA
1433 H
/ 2012 M
A.
Pendahuluan
Dalam Syi’ah, kitab hadis pertama adalah kitab Ali
Ibn Abi Thalib yang didalamnya memuat-hadis-hadis yang di-imla’-kan
langsung dari Rasulullah SAW tentang halal, haram dan sebagainya. Kemudian
dibukukan oleh Abu Rafi’ al-Qubthi al-Syi’i dalam kitab al-Sunan, al-Ahkam
dan al-Qadaya. Ulama sesudahnya akhirnya membukukannya ke berbagai macam
kitab[1],
salah satunya adalah al-Kafi fi ‘Ilmi al-Din yang dikalangan Syi’ah
merupakan pegangan utama diantara kitab-kitab yang lain.[2]
Pembahasan tentang kitab al-Kafi karya
al-Kulaini secara keseluruhan telah banyak dilakukan. Baik melalui komparasi
dengan kitab pokok aliran Sunni, tentang kriteria kesahihan hadis,[3]
maupun secara khusus kajian tentang al-Ushul al-Kafi. Karena itu kajian
secara kritis atas kitab tersebut menjadi sangat urgen untuk dilakukan.
Selanjutnya, kami akan berupaya memaparkan sekaligus menganalisa terhadap informasi
yang ada. Khususnya pada pribadi al-Kulaini dan umumnya pada al-Furu’
al-Kafi yang mencakup metode, sistematika da nisi.
B. Biografi al-Kulaini
Pengarang dari kitab al-Kafi adalah Siqat
al-Islam Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ya’qub Ibn Ishaq al-Kulaini al-Raziy.[4]
Beliau dilahirkan sekitar tahun 254 H atau 260 H di kampung yang bernama
al-Kulain atau al-Kulin di Iran. Tidak banyak diketahui mengenai kapan tepatnya
al-Kulaini lahir. Informasi lain hanya mengenai tempat tinggal al-Kulaini
selain di Iran yaitu pernah mendiami Baghdad dan Kufah. Ia pindah ke Baghdad
karena menjadi ketua ulama atau pengikut Syi’ah Imam dua belas disana, selama
pemerintahan al-Muqtadir. Beliau hidup di zaman sufara’ al-arba’ah (empat wakil
Imam al Mahdi). Selain itu tahun wafatnya adalah 328 H / 329 H (939/940).
Beliau dikebumikan di pintu masuk Kufah.[5]
Ayah al-Kulaini bernama Ya’qub Ibn Ishaq atau
al-Salsali, seorang tokoh Syi’ah terkemuka di Iran. Di kota inilah ia mulai
mengenyam pendidikan. Al-Kulaini punya pribadi yang unggul dan banyak dipuji
ulama, bahkan ulama mazhab Sunni dan Syi’ah sepakat akan kebesaran dan
kemuliaan al-Kulaini.[6]
Ibn Hajar al-Asqalani mengatakan bahwa sosok
al-Kulaini merupakan sosok fenomenal dimana dia adalah seorang faqih sekaligus
muhaddis yang cemerlang di zamannya. Seorang yang paling serius, aktif, dan
ikhlas dalam mendakwahkan Islam dan menyebarkan berbagai dimensi kebudayaan dan
dijuluki siqat al-Islam.[7]
Al-Kulaini menyusun kitab al-Kafi selama dua puluh
tahun dengan melakukan perjalanan ilmiah untuk mendapatkan hadis-hadis dari
berbagai daerah, seperti Irak, Damaskus, Ba’albak, dan Talfis. Namun bukan
hanya hadis yang ia cari tetapi juga berbagai sumber dan kodifikasi hadis dari
para ulama sebelumnya. Dari sini nampak adanya usaha yang serius dan
besar-besaran.[8]
Imam al-Kulaini
merupakan seseorang yang ahli hadis mempunyai banyak guru dari kalangan
ahl al-bait dalam proses transmisi hadis, diantara nama gurunya adalah Abdullah
Ibnu Umayyah, Ishaq Ibnu Ya’qub dan lain-lain. Ada beberapa kitab yang telah
ditulis oleh al-Kulaini disamping al-Kufi diantaranya adalah: Kitab tafsir
al-Ru’ya, kitab al-Rijal, kitab al-Rad ala al-Qaramitah, kitab Rasa’il dan
lain-lain.
Banyak ulama yang mengungkap kebesaran dari
al-Kulaini ini diantaranya adalah, Ayatullah Ja’far Subhani melukiskan dengan
matahari dan lainnya sebagai bintang-bintang yang menghiasi langit. Kaum Syi’ah
bersepakat bahwasanya kitab ini merupakan kitab utama dan diperbolehkan
berhujjah dengan dalil-dalil yang ada didalamnya.[9]
Al-Kafi merupakan kitab hadis yang menyuguhkan
berbagai persoalan pokok agama (ushul), cabang-cabang (furu’) dan taman
(rawdhah). Al-Kurki dalam ijazah-nya al-Qadhi Shafi al-Din ‘Isa,
mengatakan, al-Kulaini telah menghimpun hadis-hadis syar’iyyah dan berbagai
rahasia rabbani yang tidak akan didapati di luar kitab al-Kafi. Kitab ini
menjadi pegangan utama dalam mazhab Syi’ah dalam mencari hujjah keagamaan.
Bahkan di antara mereka ada yang mencukupkan atas kitab tersebut dengan tanpa
melakukan ijtihad sebagaimana terjadi dikalangan ahbariyyun.[10]
Kitab ini disusun dalam jangka waktu yang cukup
panjang, selama 20 tahun.[11]
Al-Kulaini meriwayatkan hadis yang sangat banyak jumlahnya dari berbagai ulama
ahl al-bait. Hadis-hadis yang termuat dalam al-Kafi berjumlah 16.199 buah
hadis, yang mencapai tingkat sahih, berjumlah 5.702 buah hadis, tingkat hasan
144 buah hadis, tingkat muwassaq 1.128 buah hadis, tingkat qawiy[12]
302 buah hadis, dan tingkat dha’if 9.485 buah hadis.[13]
Al-Kafi terdiri atas 8 jilid yang terbagi menjadi
tiga puluh lima (35) kitab dan 2355 bab, 2 jilid pertama berisi tentang
al-Ushul (pokok) jilid pertama memuat 1.437 hadis dan jilid kedua memuat 2.346
hadis, yang berkaitan dengan masalah akidah. 5 jilid selanjutnya berbicara
tentang al-Furu’ (fikih) dan 1 jilid terakhir memuat 597 hadis yang disebut
al-Rawdhah (taman) adalah kumpulan hadis yang menguraikan berbagai segi dan
minat keagamaan serta termasuk beberapa surat dan khutbah para imam.[14]
Juz ini berisi tentang pernyataan tentang ahl
al-bait, ajaran para imam, adab orang-orang saleh, mutiara hukum dan ilmu, yang
tidak mungkin dibiarkan begitu saja. Dinamakan al-rawdhah (taman) karena berisi
hal-hal yang bernilai dan berharga, yang identik dengan taman yang menjadi
tempat tumbuh bermacam-macam buah dan bungah.[15]
Adapun tema-tema dalam al-Furu’ al-Kafi yang dimulai
dalam jilid III terdiri dari 5 kitab yaitu;[16]
Kitab al-Taharah, yang terdiri dari 46 bab dan 340
hadis.
Kitab al-Haid, yang terdiri dari 24 bab dan 93
hadis.
Kitab al-Jana’iz, berisi tentang pemakaman dan
hal-hal lain yang terkait dengan upacara penguburan. Terdiri dari 95 bab dan
545 hadis.
Kitab al-Salah, terdiri dari 103 bab dan 924 buah
hadis.
Kitab al-Zakah, terdiri dari 47 bab dan 277 hadis.
Jilid IV terdiri dari 2 kitab yaitu;
Kitab al-Siyam, memuat bab-bab shadaqah yang terdiri
dari 43 bab dan 252 buah hadis. Sedangkan tentang puasa terdiri dari 83 bab dan
452 hadis.
Kitab al-Hajj dan bab-bab ziarah, terdiri dari 236
bab dan 1486 buah hadis.
Jilid V terdiri dari 3 kitab yaitu;
Kitab al-Jihad, terdiri dari 32 bab dan 149 buah
hadis.
Kitab al-Ma’isyah (cara-cara memperoleh kehidupan),
terdiri dari 159 bab dan 1061 hadis.
Kitab al-Nikah, terdiri dari 192 bab dan 990 buah
hadis.
Jilid VI terdiri dari 9 kitab yaitu;
Kitab al-’aqiqah, terdiri dari 38 bab dan 223 hadis.
Kitab al-Talaq, terdiri dari 82 bab dan 499 buah
hadis.
kitab al-’Itq wa al-Tadbir wa al-Kitabah
(jenis-jenis budak dan cara memerdekakannya), terdiri dari 19 bab dan 114
hadis.
Kitab al-Sayd (perburuan), terdiri dari 17 bab dan
119 hadis.
Kitab al-Zaba’ih (penyembelihan), terdiri dari 15
bab dan 74 hadis.
Kitab al-At’imah (makanan), terdiri dari 134 bab dan
709 buah hadis.
Kitab al-Asyribah (minuman), terdiri dari 37 bab dan
268 hadis.
Kitab al-Zayy wa al-Tajammul wa al-Muru’ah (pakaian,
perhiasan dan kesopanan), terdiri dari 69 bab dan 553 hadis.
Kitab al-Dawajin (hewan piaraan), terdiri dari 13
bab dan 106 hadis.
Jilid VII terdiri dari 7 kitab, yaitu;
Kitab al-Wasaya (wasiat), terdiri dari 39 bab dan
240 hadis.
Kitab al-Mawaris berisi 69 bab dan 309 hadis.
Kitab al-Hudud berisi 63 bab dan 448 hadis.
Kitab al-Diyat (hukum qisas dan rincian cara
penebusan jika seseorang melukai secara fisik), terdiri dari 56 bab dan 366
hadis.
Kitab al-Syahadah (kesaksian dalam kasus hukum),
terdiri dari 23 bab dan 123 hadis.
Kitab al-Qada wa al-Ahkam (peraturan tentang tingkah
laku para hakim dan syarat-syaratnya), terdiri dari 19 bab dan 78 hadis.
Kitab al-Aiman wa al-Nuzur wa al-Kafarat (tentang
sumpah, janji dan cara penebusan kesalahan ketika pihak kedua batal), terdiri
dari 18 bab dan 144 hadis.
Jadi isi keseluruhan al-Furu’ al-Kafi berjumlah
10.474 hadis, dengan perincian jilid III berisi 2049 hadis, jilid IV berisi
2424 hadis, jilid V berisi 2200 hadis, jilid VI berisi 2727 hadis, dan jilid
VII berisi 1074 hadis. Sistematika pembagian kitab dan bab yang dipakai
al-Kulaini sangat sistematis sehingga memudahkan bagi kaum muslimin khususnya
kaum Syi’ah untuk menggunakannya sebagai referensi yang utama dalam kehidupan
mereka.
Ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dalam
kitab ini, di antaranya: adalah sebagai berikut;
Adanya peringkasan sanad. Istilah sanad menurut para
ahli hadis Syi’ah adalah para rawi yang menukil hadis secara berangkai dari
awal sumber, baik dari Nabi Saw., para imam, para sahabat maupun dari yang
lainnya yang diperlihatkan kepada Imam, sampai kepada rawi yang terakhir.[17]
Sanad-sanad yang ada dalam kitab ini kadang ditulis
secara lengkap, tetapi terkadang al-Kulaini membuang sebagian sanad dengan
menggunakan kata ashhabuna, fulan, ‘iddah, jama’ah dan seterusnya. Hal
ini dimaksudkan bagi periwayat-periwayat yang sudah terkenal.[18]
Jika al-Kulaini menyebutkan sahabat kami dari Ahmad
Ibn Muhammad Ibn al-Barqi, maka yang dimaksud adalah Ali Ibn Ibrahim, Ali Ibn
Muhammad Abdullah Ahmad Ibn Abdullah dari ayahnya dan Ali Ibn al-Husain
al-Sa’dabadi. Sedangkan sebutan dari Sahl Ibn Ziyad adalah Muhammad Ibn Hasan
dan Muhammad Ibn ‘Aqil, dan lain-lain. Mereka adalah para periwayat yang
dianggap baik oleh al-Kulaini dan telah ditulis lengkap pada hadis sebelumnya.
Misalnya dalam kitab al-Furu’ jilid keenam bab
kesembilan mengenai memerdekakan budak, al-Kulaini menegaskan bahwa yang
dimaksud dengan “iddatun min ashabina” ialah ‘Ali Ibn Ibrahim, Muhammad Ibn
Ja’far, Muhammad Ibn Yahya, ‘Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Abdullah al-Qummi, Ahmad Ibn
Abdillah, ‘Ali Ibn Husain, yang semuanya dari Ahmad Ibn Muhammad Ibn Khalid
dari Usman Ibn Isa.
Peringkasan sanad ini dilandasi atas keinginan
al-Kulaini untuk tidak memperpanjang tulisan, dan dilakukan hanya pada para
periwayat yang dianggap baik dan dipercaya oleh beliau. Oleh karena itu, jika
sanad telah ditulis lengkap pada hadis sebelumnya, maka selanjutnya al-Kulaini
tidak menulisnya secara lengkap.
Adanya para rawi yang bermacam-macam sampai Imam
mereka dan periwayat lain. Jika dibandingkan dengan hadis-hadis lain diluar
Syi’ah berbeda derajat penilaiannya. Dengan demikian, mereka masih mengakui
periwayat hadis dari kalangan lain dan menganggapnya masih dalam tataran kuat.
Al-Kulaini dalam menentukan kriteria kesahihan hadis
yang terdapat dalam al-Kafi, menggunakan kriteria kesahihan hadis yang lazim
dipakai oleh para ulama mutaqaddimin, hal ini dikarenakan masa hidup al-Kulaini
termasuk dalam generasi ulama mutaqaddimin. Sedangkan yang masyhur, ada dua
pembagian hadis, pada masa ulama mutaqaddimin, pada masa kedua tokoh periwayat,
Sayyid Ahmad Ibn Thawus dan Ibn Dawud al-Hulliy. Pembagian hadis ini berkisar
pada hadis mu’tabar dan ghairu mu’tabar. Pembagian ini dipandang dari segi
kualitas eksternal (keakuratan periwayat), seperti kemuktabaran hadis yang
dihubungkan dengan Zurarah, Muhammad Ibn Muslim serta Fudhail Ibn Yasar. Maka
hadis yang berkualitas demikian itu dapat dijadikan hujjah[19].
Sedangkan menurut jumhur Ja’fariyah hadis terbagi
menjadi mutawatir dan ahad. Pengaruh akidah mereka tampak dalam maksud hadis
mutawatir. Karena hadis mutawatir menurut mereka adalah harus dengan syarat
hati orang yang mendengar tidak dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan
hadis dan maksudnya.[20]
Pengaruh imamah di sini dapat diketahui ketika
mereka menolak hujjah orang-orang yang berbeda dengan mereka yaitu mazhab yang
menafikan ketetapan amir al-mukminin Ali sebagai imam. Mereka juga berpendapat
tentang mutawatir-nya hadis al-saqalain dan hadis al-ghadir.[21]
Sedangkan hadis Ahad menurut mereka terbagi dalam
empat tingkatan atau empat kategori, yang bertumpu pada telaah atas sanad
(eksternal) dan matan (internal), dan keempat tingkatan tersebut merupakan
pokok bagian yang menjadi rujukan setiap bagian yang lain. Empat tingkatan itu
adalah; sahih, hasan, muwassaq, dan dha’if. Pembagian inilah yang kemudian
berlaku sampai saat ini.[22]
Namun ada sebagian ulama Syi’ah yang mengakui adanya kualitas qawiy dalam
pembagian hadis tersebut, jadi tingkatan kualitas hadis menjadi lima (5),
yaitu:
Hadis Sahih
Hadis sahih menurut mereka adalah, hadis yang
bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum serta adil dalam semua tingkatan
dan jumlahnya berbilang. Dengan kata lain, hadis sahih menurut mereka adalah
hadis yang memiliki standar periwayatan yang baik dari imam-imam di kalangan
mereka yang ma’shum.[23]
Pengaruh Imamiyah di sini tampak pada pembatasan
imam yang ma’shum dengan persyaratan periwayat harus dari kalangan Syi’ah Imamiyah.
Jadi hadis tidak sampai pada tingkatan sahih jika para periwayatnya bukan dari
Ja’fariyah Isna ‘Asyariyah dalam semua tingkatan.[24]
Kalangan Syi’ah Imamiyah menjelaskan sebab adanya
persyaratan ini adalah tidak diterima riwayat orang fasiq, meskipun dari sisi
agamanya dia dikatakan sebagai orang yang selalu menghindari kebohongan. Dengan
tetap wajib meneliti riwayat dari orang fasik dan orang yang berbeda dari kaum
Muslimin (maksudnya; selain Imamiyah). Jika dia dikafirkan maka dia tertolak
riwayatnya meskipun diketahui dia orang adil dan mengharamkan kebohongan.
Menurut al-Mamqani, keadilan pasti sejalan dengan
akidah dan iman, dan menjadi syarat bagi setiap periwayat. Sejalan dengan
firman Allah, “jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka
periksalah dengan teliti.(Q.S al-Hujurat; 6).
Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan, bahwa
iman adalah syarat bagi periwayat dan riwayat orang fasik wajib diteliti,
sedangkan selain pengikut Ja’fariyah adalah kafir atau fasik, maka riwayatnya
tidak mungkin sahih sama sekali. Dari sini tidak hanya tampak pengaruh imamah,
tapi juga tampak sikap ekstrim dan zindiq.
Hadis Hasan
Hadis hasan menurut Syi’ah adalah hadis yang
bersambung sanadnya kepada imam yang ma’shum dari periwayat adil, sifat keadilannya
sesuai dalam semua atau sebagian tingkatan para rawi dalam sanadnya.[25]
Dari definisi tersebut tampak bahwa mereka
mensyaratkan hadis hasan sebagai berikut;
Bertemu sanadnya kepada imam yang ma’shum tanpa
terputus.
Semua periwayatnya dari kelompok Imamiyah.
Semua periwayatnya terpuji dengan pujian yang
diterima dan diakui tanpa mengarah pada kecaman. Dapat dipastikan bahwa bila
periwayatnya dikecam, maka dia tidak diterima dan tidak diakui riwayatnya.
Tidak ada keterangan tentang adilnya semua periwayat.
Sebab jika semua periwayat adil maka hadisnya menjadi sahih sebagaimana syarat
yang ditetapkan di atas.
Semua itu harus sesuai dalam semua atau sebagian
rawi dalam sanadnya.
Hadis Muwassaq[26]
Hadis muwassaq yaitu hadis yang bersambung sanadnya kepada
imam yang ma’shum dengan orang yang dinyatakan siqah oleh para pengikut Syi’ah
imamiyah, namun dia rusak akidahnya, seperti dia termasuk salah satu firqah
yang berbeda dengan imamiyah meskipun dia masih seorang Syi’ah dalam semua atau
sebagian periwayat, sedangkan lainnya termasuk periwayat yang sahih.
Definisi ini memberikan pengertian tentang
persyaratan sebagai berikut:
Bersambungnya sanad kepada imam yang ma’shum.
Para periwayatnya bukan dari kelompok Imamiyah, tapi
mereka dinyatakan siqah oleh ja’fariyah secara khusus.
Sebagian periwayatnya sahih, dan tidak harus dari
imamiyah.
Pengaruh akidah mereka tampak dalam hal-hal sebagai
berikut:
Posisi hadis muwassaq diletakkan setelah hadis sahih
dan hadis hasan karena adanya periwayat dari selain Ja’fariyah.
Pernyataan siqah harus dari kelompok Ja’fariyah
sendiri. Karena bagi mereka pernyataan siqah dari selain Ja’fariyah tidak
cukup, bahkan orang yang dinyatakan siqah oleh mereka (selain Ja’fariyah)
adalah dha’if menurut mereka.
Al-Mamqani menjelaskan bahwa pengukuhan siqah harus
dari para pengikutnya dengan mengatakan, menerima penilaian siqah selain
imamiyah, jika dia dipilih imam untuk menerima atau menyampaikan persaksian
dalam wasiat, wakaf talak, atau imam mendoakan rahmat dan ridha kepadanya, atau
diberi kekuasaan untuk mengurusi wakaf atas suatu negeri, atau dijadikan wakil,
pembantu tetap atau kami, atau diizinkan berfatwa dan memutuskan hukum, atau
termasuk syaikh ijazah[27],
atau mendapat kemuliaan dengan melihat imam kedua belas.
Hadis Dha’if
Menurut pandangan Syi’ah, hadis dha’if adalah hadis
yang tidak memenuhi salah satu dari tiga kriteria di atas. Misalnya di dalam
sanadnya terdapat orang yang cacat sebab fasik, atau orang yang tidak diketahui
kondisinya, atau orang yang lebih rendah dari itu, seperti orang yang
memalsukan hadis.[28]
Dalam hadis sahih terlihat bahwa mereka menilai
selain Ja’fariyah sebagai orang kafir atau fasik, sehingga riwayatnya
dinyatakan dha’if yang tidak boleh diterima, dan juga tidak diterima dari
selain Ja’fariyah kecuali orang yang dinyatakan siqah oleh mereka.
Atas dasar itu mereka menolak hadis-hadis sahih dari
tiga khulafa al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar, dan Usman) dan sahabat yang lain,
tabiin, serta para imam ahli hadis dan fuqaha, pasalnya mereka tidak percaya
dengan akidah imamiyah isna ‘asyariyah. Sebab riwayat-riwayat sahih yang di
dalam sanadnya terdapat para sahabat senior dan para imam yang amanah, tetapi
tidak percaya dengan akidah dua belas imam, maka riwayat-riwayat tersebut
dinyatakan dha’if oleh kaum Ja’fariyah.
Hukum Mengamalkan Hadis Dha’if
Adapun hadis-hadis yang dha’if bukan berarti tidak
dapat diamalkan. Keberadaan hadis tersebut dapat disejajarkan dengan hadis
sahih manakala hadis tersebut populer dan sesuai dengan ajaran mereka. Dengan
demikian nampak bahwa terdapat pengaruh yang kuat atas tradisi-tradisi yang
berkembang di kalangan pengarang kitab. Oleh karena itu, tidak heran banyak
tradisi Syi’ah yang muncul dalam kitab hadis tersebut. Sebagai contoh adalah
masalah Haji, di dalamnya tidak hanya dibahas masalah manasik haji ke Baitullah
saja, melainkan memasukkan hal-hal lain seperti ziarah ke makam Nabi Muhammad
dan para imam mereka.
Hadis Qawiy[29]
Menurut muhaqqiq dan muhaddis al-Nuri, yang dimaksud
dengan tingkat kuat adalah karena sebagian atau semua tokoh sanadnya adalah
orang-orang yang dipuji oleh kalangan Muslim non-Imami, dan tidak ada seorang
pun yang melemahkan hadisnya. Hadis muwassaq (yang melahirkan kepercaraan),
kadang disebut juga dengan qawiy (kuat) karena kuatnya zhan (dugaan akan
kebenarannya), di samping karena kepercayaan kepadanya.[30]
Tingkatan hadis qawiy ini tidak banyak dikenal baik
oleh kalangan Syi’ah selain Imamiyah maupun kalangan Sunni. Hal ini dikarenakan
jumhur ulama telah sepakat akan pembagian tingkatan hadis Syi’ah menjadi empat
macam. Di samping itu sebagian rawi dari tingkatan qawiy ini berasal dari
non-Imami, sedangkan mereka membatasi untuk menerima hadis dari selain
Imamiyah. Karena syarat utama diterimanya hadis adalah harus dari kalangan
Imamiyah.
Sebagaimana diketahui bahwa kitab al-Furu’ al-Kafi
mencakup riwayat-riwayat yang berkaitan dengan hukum fikih. Maka kitab ini sama
dengan kitab Faqih Man La Yahdhuruh al-Faqih karya al-Shadiq dan dua kitab
karya al-Thusi yaitu al-Tahzib dan al-Istibsar. Pengaruh imamah dalam al-Furu’
ini juga sangat kental, misalnya pada bab haji, al-Kulaini meriwayatkan dari
Wahab, ia berkata, ada sebuah hadis yang menyatakan bahwa orang yang tidak
bermazhab Ja’fariyah kemudian setelah haji dia mengikuti mazhab Ja’fariyah maka
orang tersebut disunahkan mengulang hajinya. Bagi orang Ja’fariyah, tidak boleh
menggantikan haji selain dari Ja’fariyah kecuali terhadap bapaknya. Sedang
dalam berziarah maka disunahkan dengan sunnah muakkad untuk berziarah ke makam
para imam.
Contoh-contoh lain dalam al-Furu’ terdapat pada bab
wudhu dan mawaris[31]
· ان
العبد اذا توضأ فغسل وجهه تناثرت ذنوب وجهه واذا غسل يديه الى المرفقين تناثرت عنه
ذنوب يديه واذا مسح رجليه او غسلهما للتقية تناثرت عنه ذنوب رجليه وان قال في اول وضوئه
بسم الله الحمن الرحيم طهرت اعضاؤه كلها من الذنوب وان قال في اخر وضوئه او غسله من
الجناية سبحانك اللهم وبحمدك اشهد ا لا اله الاانت استغفرك واتوب اليك واشهد ان محمدا
عبدك ورسولك واشهد ان عليا وليك وخليفتك بعد نبيك وان اوليائه خلفائه واوصيائه…..
·
عدة من اصحابنا, عن أحمد بن محمد عن ابن محبوب
قال: أخبرني ابن بكير عن زرارة قال: سمعت أبا عبد الله عليه السلام يقول: ولكل جعلنا
موالي ممّا ترك الوالدين والاقربون, قال : إنّما عنّي بذلك أولى الأرحام في الموارث
ولم يعن أولياء النعمة, فأولاهم بالميّت أقربهم إليه من الرحم التي تجرّه إليها
·
علي بن ابراهيم عن ابيه ومحمد بن اسماعيل عن
الفضل بن شاذان جميعا عن ابن ابي عمير عن عمر بن اذنيه عن محمد بن مسلم والفضيل بن
يسار وبريد العجلي وزرارة ابن اعين عن ابي جعفر عليه السلام قال: السلام لا تعول ولاتكون
اكثر من ستة.
·
وعنه عن محمد بن عيسى بن عبيد عن يونس بن عبد
الرحمن عن عمر بن اذنيه مثل ذلك
Dalam riwayat tentang wudhu di atas, tampak sekali
adanya pemalsuan, yaitu dalam redaksi “atau membasuh kedua kaki karena
taqiyah“, dan dalam redaksi “bahwa orang-orang yang dicintainya (Ali) adalah
para khalifahnya dan orang-orang yang diwasiatkannya”. Maka hubungan pendapat
mereka dalam masalah fiqih dengan mazhab adalah yang menjadikan mereka
memalsukan hadis untuk menolong dua orang (al-Thusi dan al-’Amili).
Al-Thusi dan al-’Amili adalah dua orang yang
mengatakan bahwa membasuh dua kaki diterapkan pada taqiyyah. Jadi fanatik
Syi’ah kepada pendapat sesuai mazhabnya dan kerancauan dalam pemikiran dan
ta’wil telah memunculkan dampak yang sangat buruk, yaitu pemalsuan hadis.
Sedangkan pada riwayat tentang mawaris tampak adanya
peringkasan sanad. Adapun mengenai kualitas hadis tentang mawaris ini, secara
eksplisit, tidak diketahui karena informasi yang di dapat dalam al-Furu’ sangat
terbatas, tanpa keterangan kualitas hadisnya. Dan telah diketahui bahwa dalam
kitab al-Kafi ini tidaklah semuanya sahih.
Namun setelah kami menemukan adanya pembahasan
tentang al-Jarh wa al-Ta’dil dan Ushul al-Hadis fi ‘Ilmi al-Dirayah dalam
tradisi Syi’ah, adanya peringkasan sanad tidaklah mempengaruhi kualitas hadis.
Jadi hadis-hadis tentang mawaris tersebut masih bisa dipakai dan dapat
dijadikan hujah.
Fenomena ini bisa dijadikan bukti, bahwa hadis-hadis
dalam al-Kafi al-Kulaini, khususnya al-Furu’ memang memuat beragam kualitas,
dari sahih, hasan, muwassaq, qawiy, bahkan dha’if.
G. Kesimpulan
Al-Kafi merupakan kitab hadis yang menyuguhkan
berbagai persoalan pokok agama (ushul), cabang-cabang (furu’) dan taman
(rawdhah). Al-Kurki dalam ijazah-nya al-Qadhi Shafi al-Din ‘Isa, mengatakan,
al-Kulaini telah menghimpun hadis-hadis syar’iyyah dan berbagai rahasia rabbani
yang tidak akan didapati di luar kitab al-Kafi. Kitab ini menjadi pegangan
utama dalam mazhab Syi’ah dalam mencari hujjah keagamaan. Bahkan di antara
mereka ada yang mencukupkan atas kitab tersebut dengan tanpa melakukan ijtihad
sebagaimana terjadi dikalangan ahbariyyun.
Kitab ini disusun dalam jangka waktu yang cukup
panjang, selama 20 tahun. Al-Kulaini meriwayatkan hadis yang sangat banyak
jumlahnya dari berbagai ulama ahl al-bait. Hadis-hadis yang termuat dalam
al-Kafi berjumlah 16.199 buah hadis, yang mencapai tingkat sahih, berjumlah
5.702 buah hadis, tingkat hasan 144 buah hadis, tingkat muwassaq 1.128 buah
hadis, tingkat qawiy 302 buah hadis, dan tingkat dha’if 9.485 buah hadis.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kajian sanad dan
matan telah dikaji secara mendalam. Jika dibandingkan dengan tradisi Sunni,
kajian ulum al-hadis Syi’ah juga bisa dianggap telah matang. Meskipun pengaruh
Imamiyah masih sangat kental. Hal ini terbukti dengan syarat diterimanya hadis
adalah harus dari kalangan Imamiyah. Itulah yang menjadi syarat utama dalam
ilmu al-jarh wa al-Ta’dil.
Demikian juga terhadap kajian matan, adanya anggapan
teologis tentang tidak terhentinya wahyu sepeninggal Rasulullah, maka imam-imam
pada mazhab Syi’ah dapat mengeluarkan hadis. Jadi, tidak heran jika
surat-surat, khutbah para imam dan hal-hal lain yang disangkutpautkan dengan
ajaran agama diposisikan setara dengan hadis. Ini menjadikan kajian hadis Syi’ah
berbeda dengan kalangan Sunni. Menurut hemat kami, dua syarat itulah yang
menjadikan penyebab jumlah hadis Syi’ah jauh lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah hadis Sunni.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Gifari,
‘Abd al-Hasan. al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami,
t.th.
Al-
Hasani, Hasan Ma’ruf. “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, Jurnal
al-Hikmah, no. 6., Juli-Oktober 1992.
Al-Kulaini
Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub. Muqaddimah Usul al-kafi al-Kulaini, ditahqiq
oleh Ali Akbar al-Giffari, juz I (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1388.
Al-Kulaini,
Abu Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub. Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t. th.).
Al-Salus,
Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih,
(Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997.
Dr.
I. K. A. Howard, “al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl
al-Bait”, Jurnal al-Huda, vol II, no. 4, 2001.
Esposito,
John. L. Ensiklopedi Islam Modern (Bandung: Mizan, 2001.
Kurniawan,Yudha.
“Kriteria Kesahihan Hadis: Studi Komparatif antara Kitab al-Jami’ al-Sahih dan
al-Kafi al-Kulaini”, Skripsi, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
2003.
Subhani,
Ayatullah Ja’far. “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab
al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic
Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001.
Suryadilaga,
M. Alfatih. Kitab al-Kafi al-Kulaini, (Yogyakarta: TERAS, 2003.
[1] M.
Alfatih Suryadilaga, Kitab al-Kafi al-Kulaini, (Yogyakarta: TERAS,
2003), hlm. 307, lihat juga al-Kulaini, Muqaddimah Usul al-kafi al-Kulaini,
ditahqiq oleh Ali Akbar al-Giffari, juz I (Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah,
1388), hlm. 4-5.
[2] Ketiga kitab lainnya
adalah Man La Yahduruh al-Faqih, Tahzib al-Hakam, dan al-Ikhtisar fi Ma
Ukhtulifa min Akhbar.
[3] Yudha
Kurniawan, “Kriteria Kesahihan Hadis: Studi Komparatif antara Kitab al-Jami’
al-Sahih dan al-Kafi al-Kulaini”, Skripsi, Fak. Ushuluddin IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. 2003.
[4] ‘Abd
al-Hasan al-Gifari, al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami,
t.th), hlm. 124.
[5] Dr. I.
K. A. Howard, “al-Kutub al-Arba’ah: Empat Kitab Hadis Utama Mazhab ahl
al-Bait”, Jurnal al-Huda, vol II, no. 4, 2001, hlm. 11.
[6] Hasan
Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”,
Jurnal al-Hikmah, no. 6., Juli-Oktober 1992, hlm. 25.
[7] Hasan
Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”,
Jurnal al-Hikmah, no. 6., Juli-Oktober 1992, hlm. 25.
[9] Ayatullah
Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah: Studi atas Kitab
al-Kafi”, Al-Huda Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, vol. II, no. 5, 2001. hlm.
35.
[10] Di dalam
Syi’ah sekarang terdapat dua aliran besar dalam menanggapi masalah-masalah yang
berkembang di Dunia modern dikaitkan dengan ijtihad. Kelompok pertama
mengatakan tidak ada ijtihad. Permasalahan sudah cukup dibahas para imam-imam
mereka. Aliran ini dikenal dengan ahbariyyun atau muhaddisun. Kedua, kelompok ushuliyyun.
Mereka beranggapan bahwa tradisi ijtihad masih terbuka lebar di kalangan Syi’ah
tidak terbatas pada kematangan imam-imam mereka. Lihat Hasan Ma’ruf al-Hasani,
“Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah Al-Kafi” dalam Jurnal al-Hikmah, no, 6,
Juli-Oktober 1992, hlm. 29.
[11] Ayatullah
Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab
al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh
Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 36.
[12] Ayatullah
Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab
al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh
Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 36.
[13] Ayatullah
Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab
al-Kafi” dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh
Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 37.
[14] Al-Fatih
Suryadilaga, “al-Kafi al-Kulaini” dalam Studi Hadis (Yogyakarta: TERAS,
2003), hlm. 313.
[15] Lihat
dalam Mukaddimah al-Rawdhah, hlm 9. Dikutip dalam Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi
Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka
al-Kausar, 1997), hlm. 140.
[17] ‘Abd
al-Hasan al-Gifari, al-Kulaini wa al-Kafi (t.tp. Muassasah ‘an Nasyr al-Islami,
t.th), hlm. 469-470.
[18] Hasan
Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”,
jurnal al-Hikmah, no. 6, Juli-Oktober, 1992, hlm. 39.
[19] Hasan
Ma’ruf al-Hasani, “Telaah Kritis atas Kitab Hadis Syi’ah al-Kafi”, jurnal
al-Hikmah, no. 6, Juli-Oktober, 1992, hlm. 39.
[20] Ayatullah
Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi”
dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center,
Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 38-39.
[21]. Yang
disebut dengan hadis ghadir adalah wasiat Nabi Muhammad bahwa Ali ditunjuk
sebagai pengganti beliau. Ibid, hlm.126
[22]. Ja’far
Subhani, Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah (Qumm, Maktabah
al-Tauhid, t.th), hlm. 48.
[23] Ja’far
Subhani, Ushul al-Hadis wa Ahkamuhu fi ‘ilmi al-Dirayah (Qumm, Maktabah
al-Tauhid, t.th), hlm. 48.
[24] Ali
Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih,
(Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 127.
[25] Ali
Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih,
(Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 129.
[26] Muwassaq
(yang melahirkan kepercaraan), kadang disebut juga dengan qawiy (kuat) karena
kuatnya zhan (dugaan akan kebenarannya), di samping karena kepercayaan
kepadanya.
[27] Telah
berlaku dalam ungkapan ulama hadis penyebutan sebagian ulama dengan “syaikh
ijazah“, dan yang lain dengan “syaikh riwayah”. Yang dimaksud dengan yang
pertama adalah orang yang tidak mempunyai kitab yang diriwayatkan dan tidak
mempunyai riwayat yang dinukil, tetapi dia memperbolehkan periwayatan kitab
dari selainnya dan dia disebutkan dalam sanad karena dia bertemu gurunya. Dan
jika dia dha’if maka tidak madharat kedha’ifannya. Sedangkan yang kedua adalah
orang yang diambil riwayatnya dan dikenal sebagai penulis kitab, dia termasuk
orang yang menjadi sandaran riwayat. Orang ini madharat bila tidak mengetahui
riwayat. Untuk diterima riwayatnya, disyaratkan harus adil.
[28] Ali
Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &
Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997), hlm. 130.
[29] Ayatullah
Ja’far Subhani, “Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi”
dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center,
Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hlm. 37.
[30] Ayatullah Ja’far Subhani,
“Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas Kitab al-Kafi” dalam al-Huda:
Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol
II, no. 5. 2001, hlm. 37
[31] Abu
Ja’far Muhammad Ibn Ya’qub al-Kulaini, Furu’ al-Kafi. Jilid III-VII (t. tp. t.
th.), hlm. 76, 80 dan 81.